Mahasiswa tak berdaya, Mahasiswa tanpa guna
Negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja asumsi itu bukan tidak berdasar tapi justru sangat menohok bukan untuk masyarakat sekarang tapi rasa tertohok itu dirasakan di liang- liang kubur para pahlawan pemikir dan pendahulu bangsa. Usaha jerih payah mereka dengan menelurkan ide dan aspirasi mereka dalam pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia Raya. Ide yang dahulu dibuat serta dirancang secara ideal untuk mensejahterakan bangsa dan rakyat, dalam masa kini dibukalah celah-celah rekayasa sosial yang menjebak bangsa dan rakyat yang gagap tentang hal itu, sedang rakyat kita pun sendiri ialah rakyat yang sungguh amat takzim dan tawadhunya terhadap doxa para pemimpin mereka walaupun secara tidak langsung direkayasa dan di berdayakan untuk kepentingan mereka sendiri. Untuk menyadari itu datanglah pemuda-pemuda yang sangat mencintai bangsanya dengan selalu mengupgrade kemampuan diri untuk bangsa dan negara untuk mensejahterakan kehidupan sosial di sekitar mereka dengan nalar kritis menciptakan inovasi bagi masyarakat. Pemuda itu sadar dalam banyaknya variabel membentuk peradaban dia mengambil satu peran kecil agar dapat berkontribusi pada kesejahteraan sosial. Itu dulu.
Pemuda itu diberi nama mahasiswa dengan anggapan kaum intelektual agen perubahan dan peduli rakyat kecil. Semakin ke sini Mereka terlena dalam buai, terlelap pada silap ketenaran dan hanya untuk kepentingan agar viral tanpa murni untuk pengabdian dan bukan untuk tujuan yang substansional tapi lebih kepada hal simbolik yang diformalkan atau rekayasa kreatif keuangan membudaya bahkan membodohi pemikiran gemilang. Variabel terbentuknya mental seperti itu bukan tanpa dasar tapi ini adalah hasil rekayasa yang mudah terprovokasi dalam dunia maya. Hasil rekayasa ini membuat peran mahasiswa di Kebiri sehingga sekejap mata mental aktif adalah anti pati bahkan pasif pada sosial masyarakat, yang lantang di anggap subversif dengan terlalu banyak konsep ide tanpa memberikan aktualisasi nyata karena orientasi darinya sudah bergeser dan tidak murni.
Rekayasa itu membuat mahasiswa menjadi strata sosial yang eksekutif bahkan high class padahal dalam masa pengenalan universitas tujuan mereka pasti diarahkan pada Tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran penelitian dan pengabdian. Pengabdian adalah dharma terakhir dari pendidikan serta penelitian ibarat dua variabel itu adalah dasar pijakan untuk pengabdian yang bertujuan untuk mengembangkan, memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat serta membebaskan dari semua ketidakadilan. Pengabdian adalah tanggung jawab moril dari pendidikan dan penelitian, ketika dua variabel tidak terpenuhi secara optimal maka timbullah pengangguran muda pelamar kerja (PMPK) yang akar masalahnya ini dapat dicurigai karena ketidakberdayaan mahasiswa dalam rekayasa sosial sehingga menjadikan mereka menjadi mahasiswa tanpa guna.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara Ialah memayu hayuning sariro memayu hayuning bongso dan memayu hayuning Bawono bahwa untuk memberikan harmoni kepada dunia kita harus mengharmoni kelompok-kelompok kecil dan sebelum itu kita juga harus mengharmoni diri pribadi. Mafhum mukholafahnya ketika kita tidak bisa mengupgrade diri atau mempersiapkan diri maka secara spontanitas kita tidak bisa menjangkau domain-domain setelah mengharmoni diri.
Hal ini juga diperkuat dengan Filsafat wadah dan isi jawa. Orang Jawa berkeyakinan isi akan masuk pada wadah yang sudah siap. Mafhum mukholafahnya ketika wadah tidak dipersiapkan untuk isi-isi atau hal-hal yang penting maka wadah itu tidak ada gunanya seperti itulah pandangan mahasiswa yang menjadi penopang kebangkitan bangsa malah sebaliknya.
Asumsi mendasar bagi mahasiswa yang sangat populer ialah menempatkan mahasiswa sebagai aset bangsa dan negara secara logika aset adalah benda mati yang digerakkan oleh pemilik aset. Karena hanya pemilik aset yang mampu merekayasa dan bertindak sewenang-wenang terhadap asetnya. Inilah menurutku asumsi yang salah kaprah tapi keren di mata mereka.
Kekuatan mahasiswa bukan kekuatan yang remeh-temeh dan gampangnya di sempal oleh pundi - pundi amal pihak yang beramal pada kebaikan diri mereka sendiri atas dasar kepentingan. Rekayasa ini yang melemahkan nalar kritis mahasiswa yang seharusnya mempunyai nilai idealis tinggi atau bahkan melemahkan kekuatan mereka dalam melibatkan dan mengelola bangsa dan negara. Prosesi pelemahan bukan hanya satu arah tetapi dua arah antara perekayasa dan mahasiswa. Terkadang dengan tanpa adanya moralitas Mereka menjual harga diri dan idealisme mereka hanya demi kepentingan dan hal itu sering terjadi di Indonesia ku yang sedang tidak baik-baik saja. yang sedari kecil di cekoki hal-hal manipulatif dengan membohongi dan membodohi diri akan hal itu. Kekurangan mereka yang sudah terdampak pada rekayasa akan kesulitan dalam identifikasi masalah-masalah yang substansial dengan membedakan mana yang penting dan mana yang kurang penting bahkan mana yang tidak penting.
Psikologi kaum muda sekarang ini terlalu cengeng dan lemah atau boleh dikata terlalu mudah kaget dan takjub pada hal-hal yang tidak pernah disadari mereka untuk tetap direkayasa dengan banyaknya kebebasan yang diberikan. Mereka beranggapan ada hal-hal yang lebih penting dari hal yang harganya sangat penting dalam hidup mereka serta mereka semakin menikmati keindahan rekayasa yang merugikan dirinya, sosial dan negara.
Solusi dalam permasalahan ini ialah dengan adanya pendidikan moralitas intens sebagai dasar dan pengembangan ranah kognitif. Mahasiswa dituntut meneliti perkembangan yang terjadi kepada masyarakat yang tidak mampu mengakses pendidikan. Pada akhirnya dari hasil rekayasa mereka sulit untuk mengidentifikasi hal-hal substansial yang berujung pada kemerosotan moral, degradasi intelektual dan beban sosial. Hal-hal seperti ini hanya dapat dimungkinkan dengan adanya kebijakan yang saling mendukung antara proses pendidikan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Para pembuat kebijakan menginstruksikan kepada seluruh jajarannya agar berfokus pada pendidikan yang mana dalam hal ini ialah salah satu syarat penting dalam membuat budaya dalam kemajuan peradaban.
Mari bersama kita sadari hakikat kekuatan mahasiswa yang begitu luar biasa sehingga menimbulkan ancaman rekayasa dan mereka terlena untuk itu serta lantang menyuarakan berani dan lawan demi kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta tuntutan-tuntutan hak masyarakat kepada pemerintah dan mahasiswa ialah agen untuk menjembatani persoalan ini. Agen itu ialah mahasiswa yang berdaya dan berguna dengan bekal mengembangkan pendidikan dan pengajaran sungguh, penelitian kritis dan kreatif, serta pengabdian ikhlas. Pada intinya seperti kata selamat Raharjo Indonesia sedang tidak baik-baik saja karena kita kehilangan arah mata angin dari setiap individu manusia Indonesia.
Urgensi keterlibatan mahasiswa sebagai agen bukan sebagai aset dalam mengelola dan melibatkan diri pada proses pembangunan perdaban bangsa. rekayasa mengakar dan membudaya dari ranah paling dasar. Mahasiswa sebagai aset perubahan justru semakin kesini seharusnya sebagai penentu arah mata angin bangsa dalam kehidupan nya untuk pulih dari ketidak baik baik saja.